Monday, 2 November 2015

Terjebak dalam cinta platonik

Hari ini saya akan menuliskan tentang tema yang berbeda dari biasanya, yaitu tema 'cinta'. Hehehehe... sebenarnya terlalu tua untuk saya untuk berbicara mengenai hal ini, tetapi tiba-tiba jadi ingin menulisnya setelah mendengar cerita seorang kawan tentang kisahnya dan juga saya teringat akan status Facebook seorang kawan tentang "berselingkuhlah dengan benar dan bijaksana"

Dan kawan saya bersedia untuk kisahnya ditulis untuk menjadi pelajaran bagi siapa saja yang bisa mengambil hikmah kisah orang lain sebagai pelajaran hidupnya. 


Kawan saya ini, sebut Gayatri, telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Tinggal terpisah kota dari suaminya dan hanya bertemu sesekali. Pada mulanya hal tersebut tidak menjadi masalah, sampai suatu ketika Gayatri harus bekerja sama dengan seorang pria dalam suatu proyek, sebut Dewa. Oh ya, Dewa juga hidup berbeda kota dengan istrinya, karena sang Istri bekerja di kota lain. Kedekatan yang semakin intens, diskusi-diskusi ilimiah pada awalnya, kemudian berkembang menjadi sering makan bersama berdua saja; ternyata kemudian melahirkan rasa yang berbeda. Saling ketergantungan satu sama lain untuk saling bertemu. Rasa kangen yang tidak terperi ketika beberapa hari mereka tidak bertemu dan binar-binar bahagia yang luar biasa indahnya hanya dengan saling bercerita tentang apa saja bahkan terkadang hal-hal yang tidak penting: tentang mangkok berwarna merah yang indah atau tentang pelangi yang meruak indah di cakrawala. 


Gayatri selalu menyatakan bahwa mereka hanya berteman, karena memang hubungan mereka tidak melibatkan kontak fisik diantara mereka berdua. Gayatri juga selalu mengatakan bahwa tidak pernah terbersit dalam benaknya untuk memiliki Dewa sebagai bagian dari hidupnya, dan dia juga selalu mengatakan bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan keluarganya untuk hidup bersama Dewa, karena dia memang tidak punya rasa ingin memiliki Dewa untuk menjadi bagian dari hidupnya. Gayatri selalu mengatakan bahwa dia hanya ingin sekedar menikmati moment bahagia yang masih mungkin ada diantara mereka berdua, menikmati moment-moment saat bahagia meruak dalam hatinya, menikmati moment-moment saat rindu sedemikian hebat hadir dalam hatinya, menikmati moment-moment saat mereka tertawa bersama untuk hal-hal yang sama yang mungkin untuk orang lain hal-hal tersebut tidak lucu, menikmati moment-moment indah saat melihat binar-binar cinta terpancar dari mata Dewa. 


Salahkah Gayatri dan Dewa? Sudahkah kisah mereka berdua selaksa perselingkuhan pria dan wanita seperti yang banyak terkisah? Saya tidak tahu, karena nilai salah dan benar bukankah merupakan sebuah nilai yang universal, bergantung akan persepsi orang per orang yang didasarkan atas pengalaman hidupnya masing-masing. 


Hanya saja, saya akan menempatkan kisah tersebut adalah sebuah kisah tentang cinta platonik. Cinta platonik adalah kisah "pertemanan" antara laki-laki dan perempuan yang melibatkan rasa cinta dan afeksi, tetapi tidak melibatkan hasrat seksual diantara mereka berdua, mereka tidak mempunyai keinginan untuk saling memiliki walaupun cinta mereka besar, mereka tetap saling menghormati dan saling menjaga, saling berbagi perhatian, saling berbagi pendar dan binar bahagia di mata mereka, saling berbagi bahagia saat mereka bertemu. 


Sekali lagi, tidak ada nilai salah dan benar yang menjadi nilai universal. Dan saya tidak berhak untuk menghakimi semua kejadian tersebut, karena rasa adalah sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. Sesuai yang absurd tetapi dapat dirasakan hanya oleh orang tersebut. 


Saya tiba-tiba juga teringat kisah Krisdayanti dan Raul Remos, betapa kehebohan tercipta saat mereka ingin keluar dari selubung pernikahan mereka masing-masing dan untuk kemudian mereka menikah. Saya tidak ingin menghakimi mereka berdua, karena saya tidak pernah tahu bagaimana kisah dan rasa yang sesungguhnya ada. Mungkin Krisdayanti berpikir bahwa semua orang berhak untuk bahagia dan berbahagia, sementara Anang bukanlah tempatnya dapat berbahagia. Demikian juga dengan Raul Remos, mungkin Silvalay Noor Athalia bukan pula bahagianya. Sehingga akhirnya Krisdayanti dan Raul memutuskan untuk keluar dari kepompong ketidakbahagiaan mereka masing-masing atas nama cinta, walau ternyata cinta mereka tersebut dibangun diatas semua luka dan perih yang harus ditanggung oleh Azriel, Aurelia dan anak2 Raul dengan Atha. Sebuah pilihan hidup yang tidak mudah diambil, dan butuh keberanian dan kekuatan luar biasa untuk melakukannya, walau dengan bayaran, Krisdayanti harus kehilangan kedua buah hatinya. Walau pun beberapa waktu lalu mereka sudah melakukan rekonsiliasi kedua keluarga, akan tetapi tetap: Krisdayanti sudah kehilangan kedua buah hatinya, terutama Azriel, karena dia tidak akan pernah kembali untuk Krisdayanti. Walaupun demikian, di satu hal, Krisdayanti akhirnya mempunyai bahagia yang nyaris sempurna dengan Raul Remos. So, hidup itu pilihan, apa yang akan kamu peroleh, tergantung jalan yang akan engkau pilih.


Saya juga teringat dengan kisah teman saya yang lainnya. Ketika dia tidak sanggup untuk bertahan di zona cinta platonik karena memang ada garis yang tipis didalam cinta platonik dan memungkinkan orang yang berada disana untuk jatuh dan tergelincir. Dan tergelincirlah dia. Dia yang awalnya hanya ingin mencari bahagia dari yang tidak mampu diberikan oleh suaminya, dan sebenarnya dia selalu ingin kembali ke rumah; akhirnya harus berpisah dengan sang suami dan dua buah hatinya, dan sungguh-sungguh harus kehilangan mereka semua. Dan sekarang, sepi dan sendiri menjadi temannya. Teman tergelincirnya telah pula meninggalkannya sendiri.


Sama dengan kisah Krisdayanti, saya selalu bertanya-tanya sendiri, setimpalkah semua kebahagiaan yang sudah dia peroleh dengan mengatasnamakan cinta vs akibat yang juga dia peroleh yaitu kehilangan suami dan anak-anaknya? Tetapi sekali lagi, hidup itu semua pilihan, tergantung apa yang akan kamu pilih dan apa yang hendak kamu raih. 


Bunda....




4 comments:

  1. Jadi Dewa dan Gayatri juga bisa tergelincir spt yang lainnya...
    Kisah seperti ini banyak terjadi di Bus Trans Jakarta, di Kereta, pergi dan pulang kerja bersama, mencarikan tempat duduk, membawa bekal makan siangnya.

    Kalau kata teman saya yang psikolog, manusia selalu memiliki sisi ego, yang harus dipenuhi. Dan pemenuhannya bisa berupa apa saja, dengan pembenaran apa saja untuk memenuhi kebutuhan ego mereka.

    Just share, kalau saya dulu dikelilingi teman laki-laki, sampai-sampai ada posisi masing-masing, misal; kalau saya pergi luar kota atau luar negeri ada teman yang saya minta jaga krisna, jadi si teman ini nginep di rumah, waktu itu ada pembantu dan bay siter saja.
    Ada teman cowok, buat teman nongkrong di resto, kafe, mencari alamat dia yg nyetirin, sampai nemani belanja bahkan sampai beli bra.
    Ada teman tempat curhat, jadi klo BT cowok ini yg pertama di telepon.
    Ada teman jd teman diskusi berdebat, bercanda dengan hebatnya, aku kagumi tulisannya, tetapi saya tidak suka suaranya dan sosoknya, krn dia nampak keren di tulisannya.
    Ada teman seproyek, selalu memberi job, alhamdulillah bisa untuk lantaran naik haji salah satu proyeknya.
    Tahun 2010 semua hilang, sepertinya karena saya sudah tidak membutuhkan hadirnya mereka, setelah suami saya kembali bertugas ke Jakarta.
    O,ya semua teman itu suami tahu, bahkan beliau yg kadang mengingatkan untuk dianter si A jika sedang mencari alamat... Hanya suami tidak tahu kalau saya suka curcol dengan si D, tahunya berteman saja. Kenapa si D tempat curcol krn dia spt tempat sampah usai saya tumpahin curcol dia akan buang alias lupa, dan si D tdk mengenal satupun teman saya yg lain, jd tdk mungkin digosipin hehe.

    Sekarang temannya hampir semua perempuan, awalnya terkaget-kaget juga, karena berbeda sangat gaya bertemannya.

    Semoga berkenan
    salam
    shp

    ReplyDelete
  2. Seneng Mbak Sari membaca dan komen di artikel sy ini. Iya mbak saya jg pada dasar nya lebih memilih bersahabat dengan teman pria, karena mereka biasanya simple dalam berpikir dan bertindak, dan setia kawan. Terutama sekali, mereka tidak suka bergosip heheheh jd aman lah utk curcol kl baru ada yg dirasakan atau dipikirkan. Tetapi di semua persahabatan saya tersebut, tidak disertai dengan rasa sedikit pun, maksud saya, tanpa rasa cinta seorang wanita kepada seorang laki2, atau katakan sedikitpun tidak ada rasa kagum atau terpesona kepada mereka hehhehe. Yang ada hanya rasa persaudaraan, seperti kepada saudara lakilaki saya. Saya tulus dalam berteman. Suami saya juga tahu semua ttg mereka, bahkan terlibat dalam persahabatan saya tersebut.

    Nah, dalam kisah Gayatri dan Dewi tsb, mereka bersahabat tetapi mereka saling cinta, itu bedanya. Ada rasa kangen seperti kepada seorang kekasih, ada rasa cinta seperti kepada seorang kekasih. Bedanya dengan hubungan dalam frame 'pacaran dengan komitmen' adalah cinta platonic ini tdk ada kontak fisik. Mereka hanya berbagi rasa hati saja.

    ReplyDelete
  3. Seneng Mbak Sari membaca dan komen di artikel sy ini. Iya mbak saya jg pada dasar nya lebih memilih bersahabat dengan teman pria, karena mereka biasanya simple dalam berpikir dan bertindak, dan setia kawan. Terutama sekali, mereka tidak suka bergosip heheheh jd aman lah utk curcol kl baru ada yg dirasakan atau dipikirkan. Tetapi di semua persahabatan saya tersebut, tidak disertai dengan rasa sedikit pun, maksud saya, tanpa rasa cinta seorang wanita kepada seorang laki2, atau katakan sedikitpun tidak ada rasa kagum atau terpesona kepada mereka hehhehe. Yang ada hanya rasa persaudaraan, seperti kepada saudara lakilaki saya. Saya tulus dalam berteman. Suami saya juga tahu semua ttg mereka, bahkan terlibat dalam persahabatan saya tersebut.

    Nah, dalam kisah Gayatri dan Dewi tsb, mereka bersahabat tetapi mereka saling cinta, itu bedanya. Ada rasa kangen seperti kepada seorang kekasih, ada rasa cinta seperti kepada seorang kekasih. Bedanya dengan hubungan dalam frame 'pacaran dengan komitmen' adalah cinta platonic ini tdk ada kontak fisik. Mereka hanya berbagi rasa hati saja.

    ReplyDelete
  4. Walaupun dalam Kisah Gayatri dan Dewi tanpa melibatkan kontak fisik, tetapi ikatan emotional mereka sangat kuat, menyita seluruh energi, menyita seluruh pikiran, menyita seluruh hati, sehingga luarbiasa melelahkan. Karena di satu sisi mereka saling cinta, tetapi di satu sisi mereka harus tahu posisi masing2 yang telah menikah.

    ReplyDelete