http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2014/02/19/mark-up-dalam-anggaran-634249.html
Membaca berita hari ini (baca di sini) mengenai dugaan adanya mark up sebesar tiga kali lipat dalam pengadaan bus TransJ. Sebenarnya ini bukan informasi baru lagi, karena memang sudah bertahun-tahun menjadi rahasia umum, kalau pengadaan barang di lembaga pemerintah atau Negara atau pembangunan gedung milik pemerintah yang mempergunakan sistem tender adalah lahan dengan kesempatan korupsi yang cukup besar.
Sejak dari awal proses, sistem tender telah menyediakan kesempatan yang sangat mudah dan terbuka akan adanya praktek korupsi. Banyak sekali kasus, ketika suatu perusahaan peserta tender dimiliki oleh pejabat suatu instansi dengan memakai nama orang lain sebagai pemilik perusahaan. Satu orang pejabat dapat mempunyai banyak perusahaan fiktif tersebut, sehingga ketika ada suatu proyek tender yang akan diikuti, semua perusahaan akan mengajukan penawaran masing-masing, sehingga perusahaan manapun yang menang, maka perusahaan tersebut tetaplah milik satu orang pejabat. Dengan cara ini, maka harga dapat dimonopoli dengan cara semua penawaran yang masuk akan memasukkan harga yang seragam, dengan cara telah menaikkan harga hingga mencapai 200-300% dari harga sesungguhnya pada seluruh proposal penawaran yang masuk.
Hal ini didukung dengan semakin mudahnya setiap orang untuk mengajukan permohonan ijin pendirian sebuah usaha (SIUP), dan tidak adanya kontrol dari pemerintahan atas perusahaan-perusahaan fiktif tersebut. Ada teman saya yang sampai mempunyai perusahaan dalam bentuk usaha CV sebanyak lebih dari 15 buah, dan semuanya aktif dalam mengikuti tender-tender pemerintah. Masing-masing CV memakai nama para karyawannya satu-satu dan memakai alamat rumah masing-masing karyawannya sebagai alamat kantor. Dengan cara ini, dia dapat menguasai pertenderan dan memanipulasi harga. Selain itu, biasanya mereka akan memasukkan nilai keuntungan perusahaan sebesar 30% dari nilai total proyek dalam proposal penawaran mereka, yang terbagi rata dalam setiap satuan harga.
Selain dari segi pemilik perusahaan, permainan juga dapat berasal dari panitia pengadaan barang atau pembangunan suatu instansi. Biasanya perusahaan pemenang harus menyetorkan minimal 25 - 30% dari keseluruhan nilai proyek kepada panitia ini, yang entah kemana uangnya akan mengalir atau untuk apa, saya tidak tahu.
Selanjutnya, karena perusahaan pemenang tender adalah perusahaan fiktif, maka mereka otomatis harus melakukan subkontrak kepada “perusahaan yang sesungguhnya”. Pembangunan suatu bangunan diserahkan kepada kontraktor sesungguhnya, pembelian kertas dan alat-alat tulis kantor kepada UD yang sesungguhnya. Sementara karena uang telah diambil 30% untuk keunutngan perusahaan fiktif pemenang tender + 30% untuk panitia, maka riil yang dipergunakan oleh perusahaan pelaksana tender hanya 40% dari total nilai proyek. Bayangkan berapa kerugian Negara dengan sistem tender ini, apabila suatu tender bernilai Rp 10M saja, yang riil dipergunakan untuk pengerjaan hanya Rp 4M.
Mengenai kualitas barang. Sebenarnya sudah ada aturan baku mengenai kualitas suatu barang yang hendak dibeli. Biasanya barang made in China terlarang untuk dibeli. Spesifikasi yang diberikan akan merujuk kepada suatu merek produk Eropa atau Jepang atau Korea atau Amerika, yaitu produk-produk dengan kualitas yang terjamin baik dan bagus walaupun dengan harga yang lebih mahal daripada produk China. Akan tetapi, seperti dalam halnya kasus TransJ, barang yang masuk ternyata barang made in China dengan kualitas yang rendah tetapi dengan harga yang jauh lebih mahal daripada produk Eropa. Dan kejadian ini banyak dan sering terjadi di mana-mana. Dengan kisah bus TranJ, yang mengalami mark up harga dari Rp 1M menjadi Rp3M per bus, karena memang riil uang yang diterima perusahaan pembuat bus hanyalah Rp 1M, sehingga dengan uang Rp1M maka memang kualitas bus ya hanya segitu, jangan mengharapkan sebuah bus setara Mercedes Benz dengan uang hanya Rp1M. Kita tidak bisa protes kepada perusahaan pembuat bus, karena mereka menyediakan bus sesuai dengan nilai riil kesepakatan dengan perusahaan fiktif pemenang tender.
Sehingga saya mendukung langkah Pak Jokowi dan Pak Ahok untuk menunda pembelian bus hingga e-catalog sudah selesai terbangun dengan baik.
No comments:
Post a Comment